Pages

Minggu, 26 Mei 2013

Askep Klien PPOM



( Asuhan Keperawatan pada Klien dengan PPOM )

Penyakit Paru Obstruktif Kronik ( PPOK ) atau Penyakit Paru Obstruktif Menahun (PPOM) adalah klasifikasi luas dari gangguan yang mencakup bronkitis kronis, bronkiektasis, emfisema dan asma. (Bruner & Suddarth, 2002).
Penyakit Paru Obstruktif Kronik atau Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan COPD adalah : bronchitis kronis, emfisema paru-paru dan asthma bronchiale.
PPOM merupakan kondisi ireversibel yang berkaitan dengan dispnea saat aktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar udara paru-paru.

Bronkitis Kronis

Pengertian Bronkitis Kronis
Bronkitis kronis didefinisikan sebagai adanya batuk produktif yang berlangsung 3 bulan dalam satu tahun selama 2 tahun berturut-turut. (Bruner & Suddarth, 2002).
Istilah bronchitis kronis menunjukkan kelainan pada bronchus yang sifatnya menahun (berlangsung lama) dan disebabkan oleh berbagai faktor, baik yang berasal dari luar bronchus maupun dari bronchus itu sendiri, merupakan keadaan yang berkaitan dengan produksi mukus trakeobronkial yang berlebihan sehingga cukup untuk menimbulkan batuk dengan ekspektorasi sedikitnya 3 bulan dalam setahun untuk lebih dari 2 tahun secara berturut-turut.
Patofisiologi Bronkitis Kronis
Asap mengiritasi jalan nafas mengakibatkan hipersekresi lendir dan inflamasi. Karena iritasi yang konstan ini, kelenjar-kelenjar yang mensekresi lendir dan sel-sel goblet meningkat jumlahnya, fungsi silia menurun dan lebih banyak lendir yang dihasilkan. Sebagai akibat bronkiolus dapat menjadi menyempit dan tersumbat. Alveoli yang berdekatan dengan bronkiolus dapat menjadi rusak dan membentuk fibrosis, mengakibatkan perubahan fungsi makrofag alveolar yang berperan penting dalam menghancurkan partikel asing termasuk bakteri. Pasien kemudian menjadi lebih rentan terhadap infeksi pernapasan. Penyempitan bronkial lebih lanjut terjadi sebagai akibat perubahan fibrotik yang terjadi dalam jalan napas. Pada waktunya mungkin terjadi perubahan paru yang ireversibel, kemungkinan mengakibatkan emfisema dan bronkiektasis.
Tanda dan Gejala Bronkitis Kronis
Batuk produktif, kronis pada bulan-bulan musim dingin.
Pemeriksaan Penunjang
1.      Pemeriksaan analisa gas darah : hipoksia dengan hiperkapnia
2.      Rontgen dada : pembesaran jantung dengan diafragma normal/mendatar
3.      Pemeriksaan fungsi paru : Penurunan kapasitas vital (VC) dan volume ekspirasi kuat (FEV), peningkatan volume residual (RV), kapasitas paru total (TLC) normal atau sedikit meningkat.
4.      Pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit : dapat sedikit meningkat

Bronkiektasis

Pengertian Bronkiektasis
Bronkiektasis adalah dilatasi bronki dan bronkiolus kronis yang mungkin disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk infeksi paru dan obstruksi bronkus; aspirasi benda asing, muntahan, atau benda-benda dari saluran pernapasan atas; dan tekanan akibat tumor, pembuluh darah yang berdilatasi, dan pembesaran nodus limfe. (Bruner & Suddarth)
Patofisiologi Bronkiektasis
Infeksi merusak dinding bronkial, menyebabkan kehilangan struktur pendukungnya dan menghasilkan sputum yang kental yang akhirnya dapat menyumbat bronki. Dinding bronkial menjadi teregang secara permanen akibat batuk hebat. Infeksi meluas ke jaringan peribronkial sehingga dalam kasus bronkiektasis sakular, setiap tuba yang berdilatasi sebenarnya adalah abses paru, yang eksudatnya mengalir bebas melalui bronkus. Bronkiektasis biasanya setempat, menyerang lobus atau segmen paru. Lobus yang paling bawah lebih sering terkena.
Retensi sekresi dan obstruksi yang diakibatkannya pada akhirnya menyebabkan alveoli di sebelah distal obstruksi mengalami kolaps (ateletaksis). Jaringan parut atau fibrosis akibat reaksi inflamasi menggantikan jaringan paru yang berfungsi. Pada waktunya pasien mengalami insufisiensi pernapasan dengan penurunan kapasitas vital, penurunan ventilasi dan peningkatan rasio volume residual terhadap kapasitas paru total. Terjadi kerusakan campuran gas yang diinspirasi (ketidakseimbangan ventilasi-perfusi) dan hipoksemia.
Tanda dan Gejala Bronkiektasis
1.      Batuk kronik dan pembentukan sputum purulen dalam jumlah yang sangat banyak
2.      Jari tabuh, karena insufisiensi pernapasan
3.      Riwayat batuk berkepanjangan dengan sputum yang secara konsisten negatif terhadap tuberkel basil
Pemeriksaan Penunjang
  • Bronkografi
  • Bronkoskopi
  • CT-Scan : ada/tidaknya dilatasi bronkial

Emfisema

Pengertian Emfisema
Emfisema didefinisikan sebagai suatu distensi abnormal ruang udara diluar bronkiolus terminal dengan kerusakan dinding alveoli. (Bruner & Suddarth, 2002)
Emfisema merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai oleh pelebaran ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi jaringan (WHO).

Patofisiologi Emfisema

Pada emfisema beberapa faktor penyebab obstruksi jalan napas yaitu : inflamasi dan pembengkakan bronki; produksi lendir yang berlebihan; kehilangan rekoil elastik jalan napas; dan kolaps bronkiolus serta redistribusi udara ke alveoli yang berfungsi.
Karena dinding alveoli mengalami kerusakan, area permukaan alveolar yang kontak langsung dengan kapiler paru secara kontinu berkurang, menyebabkan peningkatan ruang rugi (area paru dimana tidak ada pertukaran gas yang dapat terjadi) dan mengakibatkan kerusakan difusi oksigen. Kerusakan difusi oksigen mengakibatkan hipoksemia. Pada tahap akhir penyakit, eliminasi karbondioksida mengalami kerusakan, mengakibatkan peningkatan tekanan karbondioksida dalam darah arteri (hiperkapnia) dan menyebabkan asidosis respiratorius.
Karena dinding alveolar terus mengalami kerusakan, jaring-jaring kapiler pulmonal berkurang. Aliran darah pulmonal meningkat dan ventrikel kanan dipaksa untuk mempertahankan tekanan darah yang tinggi dalam arteri pulmonal. Dengan demikian, gagal jantung sebelah kanan (kor pulmonal) adalah salah satu komplikasai emfisema. Terdapatnya kongesti, edema tungkai, distensi vena leher atau nyeri pada region hepar menandakan terjadinya gagal jantung.
Sekresi meningkat dan tertahan menyebabkan individu tidak mampu untuk membangkitkan batuk yang kuat untuk mengeluarkan sekresi. Infeksi akut dan kronis dengan demikian menetap dalam paru yang mengalami emfisema memperberat masalah.
Individu dengan emfisema mengalami obstruksi kronik ke aliran masuk dan aliran keluar udara dari paru. Paru-paru dalam keadaan heperekspansi kronik. Untuk mengalirkan udara kedalam dan keluar paru-paru, dibutuhkan tekanan negatif selama inspirasi dan tekanan positif dalam tingkat yang adekuat harus dicapai dan dipertahankan selama ekspirasi. Posisi selebihnya adalah salah satu inflasi. Daripada menjalani aksi pasif involunter, ekspirasi menjadi aktif dan membutuhkan upaya otot-otot. Sesak napas pasien terus meningkat, dada menjadi kaku, dan iga-iga terfiksaksi pada persendiannya. Dada seperti tong (barrel chest) pada banyak pasien ini terjadi akibat kehilangan elastisitas paru karena adanya kecenderungan yang berkelanjutan pada dinding dada untuk mengembang.
Emfisema
Emfisema

Tanda dan Gejala Emfisema

  • Dispnea
  • Takipnea
  • Inspeksi : barrel chest, penggunaan otot bantu pernapasan
  • Perkusi : hiperresonan, penurunan fremitus pada seluruh bidang paru
  • Auskultasi bunyi napas : krekles, ronchi, perpanjangan ekspirasi
  • Hipoksemia
  • Hiperkapnia
  • Anoreksia
  • Penurunan BB
  • Kelemahan
Pemeriksaan Penunjang
1.      Rontgen dada : hiperinflasi, pendataran diafragma, pelebaran interkosta dan jantung normal
2.      Fungsi pulmonari (terutama spirometri) : peningkatan TLC dan RV, penurunan VC dan FEV

Asma

Pengertian Asma
Asma adalah penyakit jalan napas obstruktif intermiten, reversibel dimana trakea dan bronki berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu. (Bruner & Suddarth, 2002)
Patofisiologi Asma
Individu dengan asma mengalami respon imun yang buruk terhadap lingkungan mereka. Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-sel mast dalam paru. Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen dengan antibodi, menyebabkan pelepasan produk sel-sel mast (disebut mediator) seperti  histamin, bradikinin dan prostaglandin serta anafilaksis dari substansi yang bereaksi lambat (SRS-A). Pelepasan mediator ini dalam jaringan paru mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan napas, bronkospasme, pembengkakan membran mukosa dan pembentukan mukus yang sangat banyak.
Sistem saraf otonom  mempersarafi paru. Tonus otot bronkial diatur oleh impuls saraf vagal melalui sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik atau non alergi ketika ujung saraf pada jalan nafas dirangsang oleh faktor  seperti infeksi, latihan, dingin, merokok, emosi dan polutan, jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat. Pelepasan asetilkolin ini secara langsung  menyebabkan bronkokonstriksi juga merangsang pembentukan mediator kimiawi yang dibahas diatas. Individu dengan asma dapat mempunyai toleransi rendah terhadap respon parasimpatis.
Selain itu, reseptor a- dan b-adrenergik dari sistem saraf simpatis terletak dalam bronki. Ketika reseptor a adrenergik dirangsang , terjadi bronkokonstriksi; bronkodilatasi terjadi ketika reseptor b-adrenergik yang dirangsang. Keseimbangan antara reseptor a- dan b-adrenergik dikendalikan terutama oleh siklik adenosin monofosfat (cAMP). Stimulasi reseptor -alfa mengakibatkan penurunan c-AMP, yang mengarah pada peningkatan mediator kimiawi yang dilepaskan oleh sel-sel mast bronkokonstriksi. Stimulasi respon beta- mengakibatkan peningkatan tingkat cAMP, yang menghambat pelepasan mediator kimiawi dan menyebabkan bronkodilatasi. Teori yang diajukan adalah bahwa penyekatan b-adrenergik terjadi pada individu dengan asma. Akibatnya, asmatik rentan terhadap peningkatan pelepasan mediator kimiawi dan konstriksi otot polos.
Patofisiologi Asma
Patofisiologi Asma
Tanda dan Gejala Asma
  • Batuk
  • Dispnea
  • Mengi
  • Hipoksia
  • Takikardi
  • Berkeringat
  • Pelebaran tekanan nadi
Pemeriksaan Penunjang
1.      Rontgen dada : hiperinflasi dan pendataran diafragma
2.      Pemeriksaan sputum dan darah : eosinofilia (kenaikan kadar eosinofil). Peningkatan kadar serum Ig E pada asma alergik
3.      AGD : hipoksi selama serangan akut
4.      Fungsi pulmonari :
  • Biasanya normal
  • Serangan akut : Peningkatan TLC dan FRV; FEV dan FVC agak menurun

Asuhan Keperawatan PPOM

Pengkajian
Pengkajian mencakup pengumpulan informasi tentang gejala-gejala terakhir juga manifestasi penyakit sebelumnya. Berikut ini adalah daftar pertanyaan yang bisa digunakan sebagai pedoman untuk mendapatkan riwayat kesehatan yang jelas dari proses penyakit :
  • Sudah berapa lama pasien mengalami kesulitan pernapasan ?
  • Apakah aktivitas meningkatkan dispnea? Jenis aktivitas apa?
  • Berapa jauh batasan pasien terhadap toleransi aktivitas?
  • Kapan selama siang hari pasien mengeluh paling letih dan sesak napas?
  • Apakah kebiasaan makan dan tidur terpengaruh?
  • Apa yang pasien ketahui tentang penyakit dan kondisinya?
Data tambahan dikumpulkan melalui observasi dan pemeriksaan; pertanyaan yang patut dipertimbangkan untuk mendapatkan data lebih lanjut termasuk :
  • Berapa frekuensi nadi dan pernapasan pasien?
  • Apakah pernapasan sama dan tanpa upaya?
  • Apakah pasien mengkonstriksi otot-otot abdomen selama inspirasi?
  • Apakah pasien menggunakan otot-otot aksesori pernapasan selama pernapasan?
  • Apakah tampak sianosis?
  • Apakah vena leher pasien tampak membesar?
  • Apakah pasien mengalami edema perifer?
  • Apakah pasien batuk?
  • Apa warna, jumlah dan konsistensi sputum pasien?
  • Bagaimana status sensorium pasien?
  • Apakah terdapat peningkatan stupor? Kegelisahan?
Diagnosa Keperawatan PPOM
a)      Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan bronkokonstriksi, peningkatan pembentukan mukus, batuk tidak efektif, infeksi bronkopulmonal.
b)      Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi-perfusi
c)      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, produksi sputum, efek samping obat, kelemahan, dispnea
d)     Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya imunitas, malnutrisi
e)      Kurang pengetahuan tentang kondisi/tindakan berhubungan dengan kurang informasi.
Intervensi PPOM
a)      Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan bronkokonstriksi, peningkatan pembentukan mukus, batuk tidak efektif, infeksi bronkopulmonal.
Intervensi :
Mandiri
  • Auskultasi bunyi nafas
  • Kaji frekuensi pernapasan
  • Kaji adanya dispnea, gelisah, ansietas, distres pernapasan dan penggunaan otot bantu pernapasan
  • Berikan posisi yang nyaman pada pasien : peninggian kepala tempat tidur, duduk pada sandaran tempat tidur.
  • Hindarkan dari polusi lingkungan misal : asap, debu, bulu bantal
  • Dorong latihan napas abdomen
  • Observasi karakteristik batuk misalnya : menetap, batuk pendek, basah
  • Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung
  • Berikan air hangat
Kolaborasi :
  • Berikan obat sesuai indikasi : bronkodilator, Xantin, Kromolin, Steroid oral/IV dan inhalasi, antimikrobial, analgesik
  • Berikan humidifikasi tambahan : misal nebuliser ultranik
  • Fisioterapi dada
  • Awasi GDA, foto dada, nadi oksimetri
b)      Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi-perfusi
Mandiri :
  • Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan. Catat penggunaan alat bantu pernapasan
  • Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien memilih posisi yang mudah untuk bernapas
  • Kaji kulit dan warna membran mukosa
  • Dorong mengeluarkan sputum,penghisapan bila diindikasikan
  • Auskulatasi bunyi nafas
  • Palpasi fremitus
  • Awasi tingkat kesadaran
  • Batasi aktivitas pasien
  • Awasi TV dan irama jantung
Kolaborasi :
  • Awasi GDA dan nadi oksimetri
  • Berikan oksigen sesuai indikasi
  • Berikan penekan SSP (antiansietas, sedatif atau narkotik)
  • Bantu intubasi, berikan ventilasi mekanik
c)      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, produksi sputum, efek samping obat, kelemahan, dispnea
Intervensi :
Mandiri :
  • Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Evalusi berat badan
  • Auskultasi bunyi usus
  • Berikan perawatan oral sering
  • Berikan porsi makan kecil tapi sering
  • Hindari makanan penghasil gas dan minuman berkarbonat
  • Hindari makanan yang sangat panas dan sangat dingin
  • Timbang BB
Kolaborasi :
  • Konsul ahli gizi untuk memberikan makanan yang mudah dicerna
  • Kaji pemeriksaan laboratorium seperti albumin serum
  • Berikan vitamin/mineral/elektrolit sesuai indikasi
  • Berikan oksigen tambahan selama makan sesuai indikasi
d)     Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya imunitas, malnutrisi
Intervensi :
  • Awasi suhu
  • Kaji pentingnya latihan nafas, batuk efektif, perubahan posisi sering dan msukan cairan adekuat
  • Observasi warna, karakter, bau sputum
  • Awasi pengunjung
  • Seimbangkan aktivitas dan istirahat
  • Diskusikan kebutuhan masukan nutrisi adekuat
Kolaborasi :
  • Dapatkan spesimen sputum
  • Berikan antimikrobial sesuai indikasi
e)      Kurang pengetahuan tentang kondisi/tindakan berhubungan dengan kurang informasi.
  • Jelaskan proses penyakit
  • Jelaskan pentingnya latihan nafas, batuk efektif
  • Diskusikan efek samping dan reaksi obat
  • Tunjukkan teknik penggunaan dosis inhaler
  • Tekankan pentingnya perawatan gigi /mulut
  • Diskusikan pentingya menghindari orang yang sedang infeksi
  • Diskusikan faktor lingkungan yang meningkakan kondisi seperti udara terlalu kering, asap, polusi udara. Cari cara untuk modifikasi lingkungan
  • Jelaskan efek, bahaya merokok
  • Berikan informasi tentang pembatasan aktivitas, aktivitas pilihan dengan periode istirahat
  • Diskusikan untuk mengikuti perawatan dan pengobatan
  • Diskusikan cara perawatan di rumah jika pasien diindikasikan pulang

Kamis, 23 Mei 2013

Belajar membaca EKG Strip

1.sinus bradikardia



2.normal sinus rytme hr 60x



3.sinus takikardia



4.VES, sinus rytme


5.sinus takikardia


6.sinus arrest


7.normal sinus rytme


8.sinus arrest


9.normal sinus rytme


10.atrial ekstrasistole


11.atrial takikardia


12.sinus takikardia


13.atrial takikardia


14.paroksimal atrial takikardia


15.atrial fib


16.atrial ekstrasistole bigemini


17.intraventrikular aberans


18.atrial fibrilasi


19.supraventrikular takikardia (paroksismal atrial takikardia)


20.normal sinus rytme


21.late av juntional takikardia.. VES


22.atrial ekstra sistole


23.WPW dgn early juntional (reentry) av


24.atrial takikardia


25.AMI


26.VES bigemini


27.VES dgn atrial takikardia


29.VES dgn IHD ya? apa efek digoksin?


29.VT


30.VES multi vokal


31.VT


32.ventrikular apa ini?


33.atrial fib


34.atrial takikardia dgn VES


35.VT polimorfik (torsades de pointes)


36.ves dgn apa ya? (mari berpikir) wkwkwk


37.asistole


38.AV blok total


39.AV blok derajat 1


40.AV blok derajat II tpe 1 (mbitz 1)


42.AV blok derajat II tipe 1


43.AV blok total


44.AV blok total dengan gg konduksi intraventrikluar


45.AV blok derajat 1 dgn VES multi vokal


45.AV blok total

Askep pada pasien Apendiksitis

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pemenuhan kebutuhan Dalam memenuhi Askep yang sangat diperlukan pengawasan terhadap masalah yang berhubugan dengan gangguan dari dalam tubuh yang diakibatkan oleh Apendiksitis, yang dapat menggagu pola aktivitas sehari – hari.

ada beberapa prosedur keperawatan yang dapat dilakukan, diantaranya pemenuhan kebutuhan asuhan keperawatan pada pasien yang tidak mampu melakukannya secara mandiri.

Sistem gastrointestinal berjalan mulai dari mulut ke anus, yang berfungsi untuk ingesti dan pendorongan makanan, pencernaannya, serta penyerapan zat-zat gizi yang penting bagi pertumbuhan dan kehidupan.Saluran GI berawal di rongga mulut berlanjut ke esofagus dan lambungdimana makanan sementara disimpan sampai di salurkan ke usus halus.Setelah diserap di usus makanan disalurkan ke usus besar (colon dan rectum).Organ-organ tambahan sistem GI meliputi hati, pankreas, kandung empedudan apendik. Jika salah satu organ GI terganggu maka akan menimbulkangangguan, salah satunya apendik. Apendik cenderung menjadi tersumbat ataurentanterhadap infeksi bila pengosongan mukusnya tidak efektif danlumennya yang kecil kira-kira 7% dari populasi akan mengalamiapendikdisitis. Apendikdisitis sering terjadi antara 20 dan 30 tahun.Untuk itu diperlukan adanya kerjasama dalam melaksanakan ASKEP padaklien dengan apendiksitis baik perawat, individu dan keluarga, sehinggatercapai keperawatan yang komprehensif.

BAB II

TINJAUAN TEORI

1. KONSEP PENYAKIT APENDIKSITIS

A. Pengertian

Apendisitis akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Smeltzer, 2001).

Apendisitis adalah kondisi di mana infeksi terjadi di umbai cacing.Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi.Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi, dikarenakan oleh peritonitis dan shock ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur. (Anonim, Apendisitis, 2007)

Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing (apendiks).Infeksi ini bisa mengakibatkan pernanahan.Bila infeksi bertambah parah, usus buntu itu bisa pecah.Usus buntu merupakan saluran usus yang ujungnya buntu dan menonjol dari bagian awal usus besar atau sekum (cecum).Usus buntu besarnya sekitar kelingking tangan dan terletak di perut kanan bawah.Strukturnya seperti bagian usus lainnya.Namun, lendirnya banyak mengandung kelenjar yang senantiasa mengeluarkan lendir. (Anonim, Apendisitis, 2007)

Apendisitis merupakan peradangan pada usus buntu/apendiks (Anonim, Apendisitis, 2007).

B. Etiologi

Appendiksitis merupakan infeksi bakteri yang disebabkan oleh obstruksi atau penyumbatan akibat :

Hiperplasia dari folikel limfoid.
Adanya fekalit dalam lumen appendiks.
Tumor appendiks.
Adanya benda asing seperti cacing askariasis.
Erosi mukosa appendiks karena parasit seperti E. Histilitica.

Menurut penelitian, epidemiologi menunjukkan kebiasaan makan makanan rendah serat akan mengakibatkan konstipasi yang dapat menimbulkan appendiksitis. Hal tersebut akan meningkatkan tekanan intra sekal, sehingga timbul sumbatan fungsional appendiks dan meningkatkan pertumbuhan kuman flora pada kolon.

C. Patofisiologi

Appendiksitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya atau neoplasma.Obstruksi tersebut menyebutkan mukus yang diproduksi mukosa yang mengalami bendungan.Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi appendiksitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.

Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah.Keadaan ini disebut dengan appendiksitis supuraktif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding appendiks yang diikuti gangren. Stadium ini disebut dengan appendiksitis gangreosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi appendiksitis perforasi.

Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak kearah appendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrate appendilkularis. Peradangan appendiks tersebut menjadi abses atau menghilang.Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan appendiks lebih tipis.Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan tejadinya perforasi.Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer. A, 2000) 

D. Manifestasi klinis

Menurut Smeltzer, Suzanne, C, 2001, Tanda dan gejala yang muncul pada pasien dengan apendiksitis, antara lain :

1. Nyeri kuadran bawah

Nyeri tekan lokal pada titik Mc. Burney bila dilakukan tekanan. Nyeri tekan lepas mungkin akan dijumpai. Derajat nyeri tekan, spasme otot, dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak tergantung pada beratnya infeksi dan lokasi appendiks. Bila appendiks melingkar di belakang sekum, nyeri dan nyeri tekan dapat terasa di daerah lumbal ; bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda ini hanya dapat diketahui pada pemeriksaan rektal. Nyeri pada defekasi menunjukkan bahwa ujung appendiks dekat dengan kandung kemih atau ureter.Adanya kekeakuan pada bagian bawah otot rektum kanan dapat terjadi.

2. Demam ringan

3. Mual-muntah

4. Hilangnya nafsu makan

5. Nyeri tekan lokal pada titik mc Burney

6. Nyeri tekan lepas (hasil atau intesifikasi dari nyeri bila tekanan dilepaskan)

7. Tanda rovsing

Tanda rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri yang secara paradoksimal menyebabkan nyeri yang terasa di kuadran kanan bawah. Apabila appendiks telah ruptur, nyeri dan dapat lebih menyebar ; distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitikdan kondisi klien memburuk

8. Distensi abdomen akibat ileus paralitik

9. Kondisi pasien memburuk

E. Klasifikasi

Klasifikasi apendisitis dibagi menjadi 2 yaitu :

1. Apendisitis akut, dibagi atas: Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Appendisitis purulenta difusi, yaitu sudah bertumpuk nanah.

2. Apendisitis kronis, dibagi atas: Apendisitis kronis fokalis atau parsial, setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis kronis obliteritiva yaitu appendiks miring, biasanya ditemukan pada usia tua.

Adapun tahapan peradangan apendisitis, antara lain :

1. Apendisitis akuta (sederhana, tanpa perforasi)

2. Apendisitis akuta perforate ( termasuk apendisitis gangrenosa, karena dinding apendiks sebenarnya sudah terjadi mikroperforasi).

Beberapa komplikasi Appendiksitis yang dapat terjadi adalah

a) Perforasi

Keterlambatan penanganan merupakan alasan penting terjadinya perforasi. Perforasi appendix akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat meliputi seluruh perut dan perut menjadi tegang dan kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler di seluruh perut, peristaltik usus menurun sampai menghilang karena ileus paralitik (Syamsuhidajat, 1997).

Apendisitis adalah penyakit yang jarang mereda dengan spontan, tetapi peyakit ini tidak dapat diramalkan dan mempunyai kecenderungan menjadi progresif dan mengalami perforasi. Karena perforasi jarang terjadi dalam 8 jam pertama, observasi aman untuk dilakukan dalam masa tersebut.

Tanda-tanda perforasi meliputi meningkatnya nyeri, spasme otot dinding perut kuadran kanan bawah dengan tanda peritonitis umum atau abses yang terlokalisasi, ileus, demam, malaise, leukositosis semakin jelas.Bila perforasi dengan peritonitis umum atau pembentukan abses telah terjadi sejak klien pertam akali datang, diagnosis dapat ditegakkan dengan pasti.

Bila terjadi peritonitis umum terapi spesifik yang dilakukan adalah operasi untuk menutup asal perforasi. Sedangkan tindakan lain sebagai penunjang : tirah baring dalam posisi fowler medium, pemasangan NGT, puasa, koreksi cairan dan elektrolit, pemberian penenang, pemberian antibiotik berspektrum luas dilanjutkan dengan pemberian antibiotik yang sesuai dengan kultur, transfusi utnuk mengatasi anemia, dan penanganan syok septik secara intensif, bila ada.

Bila terbentuk abses apendiks akan teraba massa di kuadran kanan bawah yang cenderung menggelembung ke arah rektum atau vagina. Terapi dini dapat diberikan kombinasi antibiotik (misalnya ampisilin, gentamisin, metronidazol, atau klindamisin). Dengan sediaan ini abses akan segera menghilang, dan apendiktomi dapat dilakaukan 6-12 minggu kemudian. Pada abses yang tetap progresif harus segera dilakuakn drainase.Abses daerah pelvis yang menonjol ke arah rektum atau vagina dengan fruktuasi positif juga perlu dibuatkan drainase.

Tromboflebitis supuratif dari sistem portal jarang terjadi tetapi merupakan komplikasi yang letal.Hal ini harus dicurigai bila ditemukan demam sepsis, menggigil, hepatomegali, dan ikterus setelah terjadi perforasi apendiks.Pada keadaan ini diindikasikan pemberian antibiotik kombinasi dengan drainase. Komplikasi lain yang terjadi ialah abses subfrenikus dan fokal sepsis intraabdominal lain. Obstruksi intestinal juga dapat terjadi akibat perlengketan.

Peritonitis
Peradangan peritoneum merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis.Keadaan ini biasanya terjadi akibat penyebaran infeksi dari apendisitis.Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis generalisata.Dengan begitu, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus kemudian menjadi atoni dan meregang.Cairan dan elektrolit hilang ke dalam lumen usus menyebabkan dehidrasi, gangguan sirkulasi, oligouria, dan mungkin syok.Gejala : demam, lekositosis, nyeri abdomen, muntah, Abdomen tegang, kaku, nyeri tekan, dan bunyi usus menghilang (Price dan Wilson, 2006).

b) Massa Periapendikuler

Hal ini terjadi bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi pendindingan oleh omentum. Umumnya massa apendix terbentuk pada hari ke-4 sejak peradangan mulai apabila tidak terjadi peritonitis generalisata. Massa apendix dengan proses radang yang masih aktif ditandai dengan keadaan umum masih terlihat sakit, suhu masih tinggi, terdapat tanda-tanda peritonitis, lekositosis, dan pergeseran ke kiri. Massa apendix dengan proses meradang telah mereda ditandai dengan keadaan umum telah membaik, suhu tidak tinggi lagi, tidak ada tanda peritonitis, teraba massa berbatas tegas dengan nyeri tekan ringan, lekosit dan netrofil normal (Ahmadsyah dan Kartono, 1995).

G. Pencegahan

Pencegahan pada appendiksitis yaitu dengan menurunkan resiko obstuksi dan peradangan pada lumen appendiks. Pola eliminasi klien harus dikaji,sebab obstruksi oleh fekalit dapat terjadi karena tidak ada kuatnya diit tinggi serat.Perawatan dan pengobatan penyakit cacing juga menimbulkan resiko. Pengenalan yang cepat terhadap gejala dan tanda appendiksitis menurunkan resiko terjadinya gangren,perforasi dan peritonitis.

H. Penatalaksanaan

Appendiktomi

Ada 3 cara tehnik operatif yang mempunyai keuntungan dan kerugian

1. Insisi menurut Mc.Burney (grid incision atau muscle splitting incision).

Sayatan dilakukan pada garis yang tegak lurus pada garis yangmenghubungkan spinal iliaka anterior superior (SIAS) dengan umbilicus pada batas sepertiga lateral (titik Mc.Burney). Sayatan ini mengenai kutis, subkutis dan fasia.Otot-otot dinding perut dibelah secara tumpul menurut arah serabutnya. Setelah itu akan tampak peritonium parietal (mengkilat berwarna biru ke abu-abuan) yang disayat secukupnya untuk meluksasi sekum. Sekum di kenal dari ukurannya yang besar, megkilat, lebih kelabu/putih, mempunyai hustrae dan taenia koli.Sedangkan ileum lebih kecil, lebih merah, dan tidak mempunyai haustrae atau taenia koli. Basis apendiks dicari pada pertemuan ketiga taenia koli .Tehnik inilah yang paling sering dikerjakan karena keuntungannya tidak terjadi benjolan dan tidak mungkin terjadi herniasi, trauma operasi minimum pada alat-alat tubuh dan masa istirahat pasca bedah yang lebih pendek karena penyembuhan lebih cepat.Kerugiannya adalah lapangan operasi terbatas, sulit diperluas, dan waktu operasi lebih lama.Lapangan operasi dapat diperluas dengan memotong otot secara tajam.

2. Insisi menurut Roux (muscle cutting incision)

Lokasi dan arah sayatan sama dengan Mc. Burney, hanya sayatannya langsung menembus dinding perut tanpa memperdulikan arah serabut sampai mudah diperluas, sederhana dan mudah.Sedangkan kerugiannya adalah diagnosis yang harus tepat sehingga lokasi dapat dipastikan, lebih banyak memotong syaraf dan pembuluh darah sehingga perdarahan menjadi lebih banyak, masa istirahat pasca bedah lebih lama karena adanya benjolan yang mengganggu pasien, nyeri pasca operasi lebih sering terjadi kadang-kadang ada hematoma yang terinfeksi dan massa penyembuhan lebih lama.

3. Insisi pararektal

Dilakukan sayatan pada garis batas lateral m. rektus abdominalis dekstrasecara vertical dati cranial ke kaudal sepanjang 10 cm. Keuntungan teknik ini dapat dipakai kasus-kasus appendiks yang belum pasti dan kalau perlu sayatan dapat diperpanjang dengan mudah. Sedangkan kerugiannya sayatanini tidak secara langsung mengarah ke appendiks atau sekum, kemungkinan memotong saraf dan pembuluh darah lebih besar dan untuk menutup luka operasi jahitan perlu dilakukan jahitan penunjang.

2. KONSEP KEBUTUHAN DASAR GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN KENYAMANAN (NYERI))

A. Definisi kenyamanan

Keamanan adalah keadaan bebas dari cedera fisik dan psikologis atau bisa juga keadaan aman dan tentram (Potter& Perry, 2006).

kenyamanan adalah keadaan dimana individu mengalami sensasi yang tidak menyenangkan dan berespons terhadap suatu rangsangan yang berbahaya (Carpenito, Linda Jual, 2006)

B. Batasan Karakteristik

1. Mayor (Harus Terdapat)

Individu memperlihatkan atau melaporkan ketidaknyamanan (mis: nyeri, mual, muntah, pruritus) (Lynda, 2006)

2. Minor (Mungkin Terdapat)

Menurut (Lynda, 2006) Respons autonom pada nyeri akut :

a. Tekanan darah meningkat

b. Nadi meningkat

c. Diaforesis

d. Pupil dilatasi

e. Raut wajah kesakitan

f. Menangis, merintih

C. Definisi nyeri

Nyeri adalah suatu keadaan yang tidak menyenagkan akibat terjadinya rangsangan fisik, maupun dari serabut saraf dalam tubuh ke otak dan diikuti oleh reaksi fisik, fisiologis, maupun emosional (Aziz, 2009).

Nyeri adalah kondisi suatu mekanisme prolektif tubuh ayng timbul bilamana jaringan mengalami kerusakan dan menyebabkan individu tersebut bereaksi untuk menghilangkan rangsangan tersebut(Guyton, 1997).

D. Klasifikasi nyeri

a. nyeri berdasarkan kualitasnya

1) nyeri yang menyayat

2) nyeri yang menusuk

b. nyeri berdasarkan tempatnya

1) nyeri superfisial/nyeri permukaan tubuh

2) nyeri dalam/nyeri tusuk bagian dalam

3) nyeri ulseral/nyeri dari tusuk jaringan ulseral

4) nyeri neurologis/nyeri dari kerusakan saraf perifer

5) nyeri menjalar/nyeri akibat kerusakan jaringan ditempat lain

6) nyeri sindrom/nyeri akibat kehilangan sesuatu bagian tubuh karena pengalaman masa lalu

7) nyeri patogenik/nyeri tanpa adanya stimulus

c. nyeri berdasarkan serangannya

1) nyeri akut: nyeri yang timbul tiba-tiba, waktu kurang dari 6 bulan

2) nyeri kronis: nyeri yang timbul terus-menerus, waktu lebih atau sama 6 bulan

d. nyeri menurut sifatnya

1) nyeri timbul sewaktu-waktu

2) nyeri yang menetap

3) nyeri yang kumat-kumatan

e. nyeri menurut rasa

1) nyeri yang cepat: nyeri yang menusuk

2) nyeri difus: nyeri normal yang bisa dirasakan

f. nyeri menurut kegawatan

1) nyeri ringan

2) nyeri sedang

3) nyeri berat

g. Mual

Mual adalah keadaan dimana individu mengalami sesuatu ketidaknyamanan, sensasi seperti gelombang dibelakang tenggorokan epigastrium, atau seluruh abdomen yang mungkin atau mungkin tidak menimbulkan muntah.

E. faktor – faktor Yang Mempengaruhi Nyeri

a. Pengalaman nyeri pada seseorang dapat di pengaruhi oleh beberapa hal diantaranya :

Artisi nyeri bagi seseorang memiliki banyak perbedaan dan hampir sebagian arti nyeri tersebut merupakan arti yang negatif.Seperti membahayakan, merusak dan lain-lain. Keadaan ini mempengaruhi oleh beberapa faktor seperti : usia, jenis kelamin, latar belakang sosial budaya, lingkungan dan pengalaman.

b. Persis nyeri, merupakan penilaian yang sangat subyektif tempatnya pada konteks.

c. Toleransi nyeri, toleransi ini erat hubungannya dengan intensitas nyeri yang dapat mempengaruhi kemampuan seseorang menahan nyeri. Faktor yang mempengaruhi antara lain : alkohol, obat-obatan, hipnotis, gesekan, pengalihan perhatian, kepercayaan yang kuat.

d. Reaksi terhadap nyeri merupakan bentuk respon seseorang terhadap nyeri seperti: nyeri tingkat persepsi, nyeri pengalaman masa lalu, nilai budaya, harapan sosial kesehatan fisik dan mental (Hidayat,2008).

F. Sumber Nyeri

a. Cutaneous / superfisial yang meliputi struktur pada kulit dan jaringan subcutan.

b. Viseral yang meliputi organ-organ yang berada dalam rangga tubuh.

c. Deep srematik yang meliputi tulang otot syaraf dan jaringan-jaringan yang menyokong (Smellchzer,2006).

G. Upaya Mengatasi Nyeri

a. Distraksi

mengalihkan perhatian Misalnya : nonton TV, baca majalah, mengajak bicara pasien.

b. Relaksasi

nafas dalam, kompres, message.

c. Akupuntur

tusuk jarum pada daerah nyeri.

d. Hipnosa

teknik membuat orang tidak sadar diri.

e. Analgesik

mengurangi persepsi tentang nyeri

f. Daya kerja

sistem syaraf sentral

H. Tingkat Nyeri

a. Menurut Kozier 

0 : tidak nyeri

1, 2, 3, 4 : ringan 

5, 6 : sedang

7, 8, 9 : berat

10 : sangat berat.

Menurut Meizak dan Rogerson (1991)

1 : tidak nyeri

2 : ringan 

3 : tidak nyaman

4 : Distressing

5 : Novible (berat)

6 : exeros clating (sangat berat) c.

Menurut Maxwell (1989)

1 : tidak nyeri

2 : ringan 

3 : sedang

4 : berat.

Menurut Mc Gill (Mc Gill scale)

1 : tidak nyeri 

2 : nyeri ringan 

3 : nyeri sedang 

4 : nyeri berat 

5 : nyeri sangat berat 

6 : nyeri hebat.

I. Etiologi 

1. Trauma

a. Mekanik (tergesek, terpotong, terpukul, tertusuk)

b. Thermis (panas dan dingin)

c. Chemis (zat kimia bersifat asam dan baja serta iritasi dan korosif lainnya)

d. Elektris (listrik)

2. Peradangan (inflamasi)

Nyeri disebabkan oleh pembengkakan meregang syaraf dan pelepasan mediator kimia.

3. Trauma Psikologis 

Keluhan yang berhubungan dengan psikologis

4. Gangguan sirkulasi 

Terjadi penyempitan / penyumbatan pada saluran tub.

5. Neuplasma

Jinak nyeri tidak ada ujung reseptor, misalnya tumor

J. Gejala Klinis

1. Respon Simpatis 

a. Peningkatan tekanan darah

b. Peningkatan suhu

c. Peningkatan respirasi

2. respon muscular

a. Gelisah

b. Meraba

c. Membatasi respirasi

3. Respon emosional

a. Perubahan perilaku

b. Iritable, merintih dan menangis

c. Ekspresi wajah : menyeringai, masalah

K. Pengkajian 

Pengumpulan Data

1. Pengkajian umum

a. Identitas Pasien

Identitas klien Nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, alamat, dan nomor register.

b. Riwayat Keperawatan

a) Riwayat Kesehatan saat ini : keluhan nyeri pada luka post operasi apendektomi, mual muntah, peningkatan suhu tubuh, peningkatan leukosit.

b) Riwayat Kesehatan masa lalu

Apakah sebelumnya pasien pernah di rawat di rumah sakit atau pernah mengalami sakit seperti ini

c. Pemeriksaan Fisik

a) Tanda-tanda vital : Tekanan darah, nadi, pernafasan

b) Perilaku : Meletakkan tangan di paha, tungkai, dan paha flexi

c) Expresi wajah

a. Sistem kardiovaskuler : Untuk mengetahui tanda-tanda vital, ada tidaknya distensi vena jugularis, pucat, edema, dan kelainan bunyi jantung.

a) Sistem hematologi : Untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan leukosit yang merupakan tanda adanya infeksi dan pendarahan, mimisan splenomegali.

b) Sistem urogenital : Ada tidaknya ketegangan kandung kemih dan keluhan sakit pinggang.

c) Sistem muskuloskeletal : Untuk mengetahui ada tidaknya kesulitan dalam pergerakkan, sakit pada tulang, sendi dan terdapat fraktur atau tidak.

d) Sistem kekebalan tubuh : Untuk mengetahui ada tidaknya pembesaran kelenjar getah bening.

b. Pemeriksaan Penunjang

a) Pemeriksaan darah rutin : untuk mengetahui adanya peningkatan leukosit yang merupakan tanda adanya infeksi.

b) Pemeriksaan foto abdomen : untuk mengetahui adanya komplikasi pasca pembedahan.

1. Keluhan utama 

c. Keluhan yang paling dirasakan klien 

a. Klien mengatakan nyeri

P : Paliatif : Faktor yang mempengaruhi gawat atau ringannya nyeri

Q : Qualitatif : Seperti apa, tajam, tumpul, atau tersayat

R : Regio : Daerah perjalan nyeri

S : Severe : Keparahan atau intensitas nyeri

T : Time : Lama waktu serangan atau frequensi nyeri

d. Pemeriksaan fisik

d) Tanda-tanda vital : Tekanan darah, nadi, pernafasan

e) Perilaku : Meletakkan tangan di paha, tungkai, dan paha flexi

f) Expresi wajah

Pengkajian fokus

1. Posisi yang memperlihatkan pasien

Pasien tampak takut bergerak, dan berusaha merusak posisi yang memberikan rasa nyaman

2. Ekspresi umum

a) Tampak meringis, merintih

b) Cemas, wajah pucat

c) Ketakutan bila nyeri timbul mendadak

d) Keluar keringat dingin

e) Kedua rahang dikatupkan erat-erat dan kedua tangan tampak dalam posisi menggenggam

f) Pasien tampak mengeliat karena kesakitan

3. Pasien dengan nyeri perlu diperhatikan saat pengkajian adalah

a) Lokasi nyeri

b) Waktu timbulnya nyeri

c) Reaksi fisik/psikologis pasien terhadap nyeri

d) Karakteristik nyeri

e) Faktor pencetus timbulnya nyeri

f) Cara-cara yang pernah dilakukan untuk mengatasi nyeri

L. DIAGNOSA KEBUTUHAN RASA NYAMAN DAN AMAN

Diagnosa menurut (Lynda, 2006)

a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik atau trauma

b. Cemas berhubungan dengan perubahan status kesehatan

c. Resiko Injury berhubungan dengan imobilisasi, penekanan sensorik patologi intracranial dan ketidaksadaran

M. PERENCANAAN KEPERAWATAN

No. Dx


Diagnosa


Tujuan


Intervensi



Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik atau trauma


Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .......x24 jam, diharapakan nyeri berkurang dengan kriteria:

Kontrol Nyeri

- Mengenal faktor penyebab

- Mengenal reaksi serangan nyeri

- Mengenali gejala nyeri

- Melaporkan nyeri terkontrol

Tingkat Nyeri

- Frekuensi nyeri

- Ekspresi akibat nyeri


- Kaji tingkat nyeri,meliputi : lokasi,karakteristik,dan onset,durasi,frekuensi,kualitas, intensitas/beratnya nyeri, faktor-faktor presipitasi

- Kontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap ketidaknyamanan

- Berikan informasi tentang nyeri

- Ajarkan teknik relaksasi

- Tingkatkan tidur/istirahat yang cukup

- Turunkan dan hilangkan faktor yang dapat meningkatkan nyeri

- Lakukan teknik variasi untuk mengurangi nyeri

-Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian obat

- Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgetik

- Berikan analgetik yang tepat sesuai dengan resep

- Catat reaksi analgetik dan efek buruk yang ditimbulkan

- Cek instruksi dokter tentang jenis obat,dosis,dan frekuensi



Cemas berhubungan dengan perubahan status kesehatan


Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .....x24 jam diharapakan kecemasan menurun atau pasien dapat tenang dengan kriteria :

Control Cemas

-Menyingkirkan tanda kecemasaan

-Menurunkan stimulasi lingkungan ketika cemas

-Menggunakan teknik relaksasi untuk menurunkan cemas

-Melaporkan penurunan kebutuhan tidur adekuat

-Tidak ada manifestasi perilaku kecemasan

Koping

-Memanajemen masalah

-Mengekspresikan persaan dan kebebasan emosinal

-Memelihara kestabilan financial

-Menggunakan suport sosial

Keterangan Penilaian


Penurunan Kecemasan

- Tenangkan klien

- Berusaha memahami keadaan klien

- Berikan informasi tentang diagnosa,prognosis dan tindakan

- Kaji tingkat kecemasan dan reaksi fisik pada tingkat kecemasan

- Gunakan pendekatan dengan sentuhan (permisi) verbalisasi

- Temani klien untuk mendukung keamanan dan menurunkan rasa takut

- Instruksikan pasien untuk menggunakan teknik relaksasi

- Berikan pengobatan untuk menurunkan cemas dengan cara yang tepat

Peningkatan Koping

- Hargai pemahaman pasien tentang proses penyakit

- Gunakan pendekatan yang tenang dan memberikan jaminan

- Sediakan informasi actual tentang diagnosa,penanganan dan prognosis

- Dukung keterlibatan keluarga dengan cara yang tepat

- Bantu pasien untuk mengidentifikasi strategi positif untuk mengatasi keterbatasan dan mengelola gaya hidup atau perubahan peran



Resiko Injury berhubungan dengan imobilisasi, penekanan sensorik patologi intracranial dan ketidaksadaran


Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .....x24 jam diharapkan tidak ada cedera dengan kriteria:

Risk Control

- klien terbebas dari cedera

- klien mampu menjelaskan cara/metode untuk mencegah cedera

- klien mampu menjelaskan faktor resiko dari lingkungan/prilaku personal

- mampu memodifikasi untuk mencegah injury

- mampu mengenali perubahan status kesehatan

Keterangan Penilaian



Enviromental Manajement (Manajemen Lingkungan)

- sediakan lingkungan yang aman untuk pasien

- identifikasi kebutuhan keamanan pasien, sesuai dengan kondisi fisik dan fngsi kognisi pasien dan riwayat penyakit terdahulu pasien

- menghindarkan lingkungan yang berbahaya

- memasang side rail tempat tidur

- menyediakan tempat tidur yang aman dan bersih

- membatasi pengunjung

- memberikan penerangan yang cukup

- menganjurkan keluarga untuk menemani pasien

- mengontrol lingkungan dari kebisingan

- berikan penjelasan pada pasien dan keluarga pasien atau pengunjung tentang adanya perubahan status kesehatan dan penyememasang side rail tempat tidur

- menyediakan tempat tidur yang aman dan bersih

- membatasi pengunjung

- memberikan penerangan yang cukup

- menganjurkan keluarga untuk menemani pasien

- mengontrol lingkungan dari kebisingan

- berikan penjelasan pada pasien dan keluarga pasien atau pengunjung tentang adanya perubahan status kesehatan dan penyebab penyakit

I. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul

Gangguan rasa nyeri berhubungan dengan discontuinitas jaringan luka post operasi appendiktomi.

2. Gangguan pola istirahat tidur berhubungan dengan Kondisi fisik

Intoleransi aktivitas berhubungan dengan pembatasan gerak skunder terhadap nyeri.
Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasive appendiktomi.
Resiko kekurangan volume cairan sehubungan dengan pembatasan pemasukan cairan secara oral.

J. Intervensi

1. Gangguan rasa nyeri berhubungan dengan discontuinitas jaringan luka post operasi appendiktomi.

Tujuan
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x 24jam Nyeri berkurang

Kriteria Hasil :

Tampak rilek dan dapatrileks, wajah tidak meringis

Intervensi

1) Kaji skala nyeri lokasi, karakteristik dan laporkan perubahan nyeri dengan tepat.

2) Jika nyeri ajarkaan cara mengurangi rasa nyeri

3) Pertahankan istirahat dengan posisi semi powler.

4) Evaluasi tidakan yang dilakukan

5) Berikan posisi yang aman dan nyaman

6) Kolborasi tim dokter dalam pemberian analgetika.

Rasional

1) Berguna dalam pengawasan dan keefesien obat, kemajuan penyembuhan,perubahan dan karakteristik nyeri.

2) Dapat mengurangi nyeri

3) Dapat Membberikan rasa nyaman

4) Untuk mengetahui respon pasien.

5) meningkatkan relaksasi.

6) Menghilangkan nyeri.

1. Gangguan pola istirahat (tidur) berhubungan dengan kondisi fisik nyeri luka post op

Tujuan:

Tidak terjadi gangguan pola tidur

Kriteria Hasil:

Klien tampak sadar, tidak banyak menguap, mata tidak merah

Intervensi:

1) Tentukan kebiasaan tidur dan perubahan yang terjadi

2) Berikan posisi yang aman dan nyaman

3) Ciptakan lingkungan yang nyaman

4) Berikan kesempatan klien untuk istirahat jika ada yang menjenguk bukan

pada jam njenguk

Rasional:

1) Agar pasien tidak merasa kaget dengan perubahan yang saat sakit dan sebelum sakit

2) untuk memberikan rasa nyaman untuk pasien

3) dapat memberikan kenyamanan pada pasien

4) dapat membuat pasien beristirahat dengan tenang

2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan pembatasan gerak skunder terhadap nyeri.

Tujuan
Toleransi aktivitas

Kriteria Hasil :

1) Klien dapat bergerak tanpa pembatasan

2) Tidak berhati-hati dalam bergerak.

3) Intervensi

1) catat respon emosi terhadap mobilitas.

2) Berikan aktivitas sesuai dengan keadaan klien.

3) Berikan klien untuk latihan gerakan gerak pasif dan aktif.

4) Bantu klien dalam melakukan aktivitas yang memberatkan.

Rasional

1) Immobilisasi yang dipaksakan akan memperbesar kegelisahan.

2) Meningkatkan kormolitas organ sesuiai dengan yang diharapkan.

3) Memperbaiki mekanika tubuh.

4) Menghindari hal yang dapat memperparah keadaan.

3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasive appendiktomi

Tujuan
Infeksi tidak terjadi

Kriteria Hasil :

Tidak terdapat tanda-tanda infeksi dan peradangan

Intervensi

1) Ukur tanda-tanda vital

2) Observasi tanda-tanda infeksi

3) Lakukan perawatan luka dengan menggunakan teknik septik dan aseptik

4) Observasi luka insisi

Rasional

1) Untuk mendeteksi secara dini gejala awal terjadinya infeksi

2) Deteksi dini terhadap infeksi akan mudah

3) Menurunkan terjadinya resiko infeksi dan penyebaran bakteri.

4) Memberikan deteksi dini terhadap infeksi dan perkembangan luka.

4. Resiko kekurangan volume cairan berhubungna dengan pembatasan pemasuka n cairan secara oral

Tujuan
Kekurangan volume cairan tidak terjadi

Intervensi

1) Ukur dan catat intake dan output cairan tubuh

2) Awasi vital sign: Evaluasi nadi, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa

3) Kolaborasi dengan tim dokter untuk pemberian cairan intra vena

Rasional

1. Dokumentasi yang akurat akan membantu dalam mengidentifikasi pengeluaran cairan atau kebutuhan pengganti.

2. Indikator hidrasi volume cairan sirkulasi dan kebutuhan intervensi

3. Mempertahankan volume sirkulasi bila pemasukan oral tidak cukup dan meningkatkan fungsi ginjal

DAFTAR PUSTAKA

Barbara Engram, Askep Medikal Bedah, Volume 2, EGC, Jakarta.

Carpenito, Linda Jual, Diagnosa Keperawatan, Edisi 8, EGC, 2000, Jakarta.

Doenges, Marlynn, E, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi III, EGC, 2000, Jakarta.

Elizabeth, J, Corwin, Biku saku Fatofisiologi, EGC, Jakarta.

Ester, Monica, SKp, Keperawatan Medikal Bedah (Pendekatan Gastrointestinal), EGC, Jakarta.

Peter, M, Nowschhenson, Segi Praktis Ilmu Bedah untuk Pemula. Bina Aksara Jakarta

Anonim.2007.Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Apendiksitis.

Smeltzer, C. Suzanne, C. Brenda, G. Bare, 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Brunner & Suddarth, EGC, Jakarta.

Manjoer, Arif.2000. Kapita Selekta Kedokteran ed.3 cetakan 1.Media Aesculapsus:Jakarta.
Pierce dan Neil. 2007. At a Glance Ilmu Bedah. Ed : 3. Jakarta : Penerbit Erlangga.